1
23 shares, 1 point
agama sebagai energi pembebasan
Disclaimer

Payung Merah adalah media yang menyediakan bacaan dan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.


Agama Sebagai Energi Pembebasan – Sejarah peradaban merupakan sejarah pergulatan untuk mewujudkan makna terdalam kebebasan. Dalam konteks ini, kebebasan yang dari berbagai halangan.

Misalnya, dari kungkungan determinasi alam ataupun kendala-kendala manusia yang belum menunjukkan makna terdalam atau kualitas sesungguhnya dari segala upaya manusia itu sendiri.

Kemudian timbullah pertanyaan mendasar yaitu bebas untuk apa? Jawaban dari pertanyaan inilah yang menelitik letak makna dan mutu kebebasan itu sendiri.

Pada titik ini umumnya bebas diasumsikan sebagai kebebasan untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi atau yang lebih sesuai dengan keluruhan martabat kemanusiaan.


Agama Sebagai Energi Pembebasan

Agama adalah sumber energi dahsyat yang mampu membebaskan manusia menuju tingkat martabat kemanusiaannya ke tingkat yang paling tinggi.

Asumsi ini mengandung arti dari suatu defisini tertentu tentang agama dan Tuhan. Agama pada dasarnya bersifat multi-faset dan kompleks.

Baca Juga: Sistem Nafsani: Hati sebagai Penyeimbang dan Penentu

Agama biasanya dilihat sebagai sebuah aktivitas dari atas ke bawah, yaitu sebagai pewahyuan dari Tuhan kepada umat manusia, akan tetapi ada yang beranggapan bahwa suatu aktivitas yang bersifat terbalik yakni dari manusia menuju Tuhan.

Agama juga dapat dilihat dari dua sisi, yakni agama memang merupakan God’s search for man, namun jika dilihat dari sisi fenomenologis yakni agama dilihat sebagai Man’s search for God, yang memiliki arti yaitu kemanusiaan yang mencari kepenuhan martabatnya dalam Tuhan.

Dalam sisi kedua, Tuhan dipandang sebagai sumber keutuhan, kreativitas dan keberartian terdalam bagi manusia, meskipun di sisi lain Ia memang juga mengatasi segala konteks kemanusiaan dengan arti lainnya Dia adalah Dia sendiri yang tidak pernah persis dapat kita ketahui dan mengatasi segala kategori kebahasaaan manusiawi.

Lebih tepatnya, Tuhan adalah suatu sosok yang imanen sekaligus transenden.

Agama sebagai energi pembebasan adalahideal normatif dan tidak merupakan kenyataan yang real. Dalam kenyataan realnya, agama merupakan sumber aneka belenggu ketimbang sumber pembebasan.

Dilihat dari masa lalu pun menyatakan bahwa kenyataan peradaban-peradaban besar memang lahir dari agama-agama besar yang sebetulnya sudah menunjukkan bahwa terdapat interaksi ketat antara agama dan situasi zaman yang berubah-ubah.

Baca Juga: Sistem Nafsani: Akal Menurut Fungsi & Tujuannya

Dari sejarah masa lalu itu amat nyata bahwa agama itu sendiri bukan merupakan suatu sistem nilai sedemikian tetap, ketat dan kaku, kendati demikian tentu ada pulan unsur-unsur dasar yang tetap.

Sebaliknya, sejarah menunjukkan kemampuan adaptasi dan trasnformasi yang canggih dari agama-agama dalam menghadapi tantangan-tantangan zaman, sekaligus memperlihatkan bobot nilai-nilai universal yang dikandung oleh agama-agama tersebut.

Nilai universalitas dari agama-agama itu diujinya memang melalui interaksi kritis timbal balik antara cognitive framework sistem-sistem keagamaan dengan cognitive frameworks setiap zaman.


Kritik Terhadap Agama

Modernisasi sendiri dapat dikatakan dilahirkan oleh agama. Namum paradigma tersebut berkembang dengan pesat sehingga melepaskan cengkeraman otoritas agama dari kehidupan (sekularisasi kehidupan dan desakralisasi alam).

Baca Juga: Mempertahankan Ketakwaan di Hadapan Media Sosial

Dalam kenyataan ini mengisyaratkan bahwa adanya hal-hal tertentu dalam sistem keagamaan yang mungkin memang tidak cocok dengan kerangka kehidupan modern.

Itulah sebabnya hal ini perlu dikritik mulai dari perspektif modern ke arah agama, terutama bila agama masih ingon berperan secara efektif bagi kehidupan modern sekarang ini. Kritik tersebut menyoroti beberapa hal sebagai berikut:

Dogmatisme yang Aman

Dalam kehidupan sehari-hari, umumnya orang beragama cenderung lebih mencari rasa aman ketimbang mencari kebebasan, lebih suka berpegang teguh pada kepastian hukum dan dogma ketimbang berpetualang mencari pemahaman yang baru tentang kebenaran secara kritis.

Baca Juga: Sistem Nafsani: Nurani Sang Komplementer

Tidaknya mengherankan jika dilihat dari perspektif modern yaitu agama seolah-olah bisa survive hanya berkat kepercayaan yang terlalu berlebihan atas otoritas, misteri dan mukjizat belaka.

Itulah sebabnya bagi orang-orang modern sekarang, agama lantas dianggap sejenis infantilistme saja. Lebih parah lagi kepercayaan emosional yang terlalu berlebihan dan dogmatis itu nyatanya memang mudah sekali dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan politis dan bisnis.

Maka praktek religiusitas yang populer sekarang ini seakan hanya memberikan kesan seolah-olah agama yang secara inheren memang selalu cenderung bertentangan dengan refklesivitas kritis dan semangat kebebasan modern.

Begitu kenyataaan sebaliknya bahwa agama memandang refleksivitas yang bebas dan kritis itu identik dengan ancaman anarki.

Agama Ilmiah

Modernisasi dalam wilayah agama, wilayah makna dan tujuan hidup, cenderung diadopsi oleh paradigma agama, dan begitu hal sebaliknya yang dilakukan para teolog yang mempunyai ambisi untuk meng-agama-kan paradigma-paradigma ilmiah.

Baca Juga: Sistem Nafsani: Hati sebagai Penyeimbang dan Penentu

Pada dasarnya bahwa keyakinan terhadap agama selalu mencangkup totalitas kehidupan secara integratif. Namun perlu digarisbawahi bahwa pada tingkat praktis, wilayah ilmiah dan wilayah keagamaan merupakan dua wilayah yang berbeda dari dari tekanan didalamnya maupun cara kerjanya, sehingga tidak mungkin saling menggantikan ataupun saling menyingkirkan.

Akan tetapi, agama dimungkinkan memberi banyak inspirasi dalam bidang keilmuan, namun ambisi untuk mewarnai secara keseluruhan paradigma keilmuan dengan paradgma keagamaan rasanya merupakan ambisi yang terlalu sembrono. Karena dalam arti lainnya, masing-masing memiliki daerah otonomi dan otoritas masing-masing.

Sebetulnya yang lebih dibutuhkan dari agama adalah supaya bisa lebih terbuka pada refleksivitas kritis modern secara lebih konsekuen.

Dengan arti lainnya, agama dapat membiarkan ilmu-ilmu modern untuk menggugat formulasi-formulasi dogma baku.

Jika memang ada keyakinan bahwa agama terletak pada nilai-nilai luhur di balik segala formulasi yang ada, maka dalam hal ini agama akan tetap bisa survive, bahkan ia dapat dimurnikan, bagaikan abrang logam yang dibersikan dari debu dan karatnya lalu menjadi semakin mengkilap.

Komoditi Sebagai Simbol Religius

Ketika de facto perilaku manusia modern dikendalikan oleh interaksi jual beli di dunia pasar baik lokal, nasional, maupun global, ketika segala hal merupakan barang komoditi, maka dengan sendirinya agama akan mengalami godaan yang begitu besar untuk menjadikan simbol-simbol religiusnya sebagai barang komoditi dan menggunakan emosi ritual-devosional sebagai sarana ampuh untuk memasarkan komoditi tersebut.

Baca Juga: Universalitas Kebenaran Agama dan Agama Yang Benar

Dengan itu agama merasa menjalankan misinya dengan sarana yang sesuai dengan zaman, dan perlu diwaspadai juga bahwa tanpa disadari yang terjadi seringkali persis sebaliknya yaitu emosi religius hanya dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk menggeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Maka dengan kemeriahan simbol-simbol fisik material keagamaan yang meriap di masyarakat yang mana belum tentu menunjukkan kualitas peran dan pengaruh agama yang sesungguhnya.

Bahaya dari hal semacam ini adalah bahwa penghayatan religius cenderung berhenti pada taraf simbiolisme yang dangkal.

Dimana pada awalnya hanya dikira sebagai proses intensifikasi religiusitas, akan tetapi yang sebenarnya terjadi adalah justru proses pendangkalan atau dengan kata lain, orang merasa cukup religius hanya dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan itu, dan agama sebagai institusi/lembaga merasa kokoh dengan melihat betapa meriahnya simbol-simbol keagamaan itu digunakan oleh umatnya.

Baca Juga: Sistem Nafsani: Akal Menurut Fungsi & Tujuannya

Pada kenyataan seperti ini dapat mengecoh dan melemahkan kepekaan kita terhadap kemungkinan adanya persoalan-persoalan mendasar dan substansial dalam hidup beragama di zaman modern ini.

Sebetulnya memang sangat banyak persoalan yang masih harus diselesaikan oleh kaum agamawan disekitar hubungan antara penghayatan religius otentik dengan paradigma zaman, bila agama memang mau berperan pada taraf struktural.

Soal memenuhi tuntutan di zaman modernisasi bukan berarti memordenkan model pakaian keagamaan atau menggunakan teknologi media modern dalam berdakwah, melainkan dalam hal mennyesuaikan penghayatan agama dengan pola pikir dan struktur mentalitas modern.

Hal ini menjadi suatu keharusan yang tak terelakkan, sebab modernisasi telah demikian jauh meresapi segala sektor kehidupan.

Modernisasi telah menjadi relaitas dalam kehidupan sehari-hari. Bersikap anti terhadapnya dan berusaha mengisolasi diri daripadanya adalah sebuah ilusi naif yang mengenaskan.

Kritik Atas Paradigma Modern

Sistem-sistem pada gagasan modernisasi maupun pada tatanan sosial modern yang sebetulnya dilahirkan berdasarkan basic trust atau kepercayaan dasar atas hal-hal tertentu. Beberapa pilar utama yang dibangun dan dipercaya untuk menopang modernisasi sebagai berikut:

Reflektivitas

Pada zaman modern sekarang ini, manusia menganggap kebenaran hanya bersifat sementara, sebab tiap-tiap kebenaran senantiasa terbuka bagi refleksi ulang dan gugatan kritis.

Pada dasarnya, reflektivitas itu melahirkan informasi dan penemuan-penemuan baru. Sebaliknya, segala informasi dan penemuan baru menentang kembali refleksi kritis atas segala dogma yang sempat dirumuskan.

Dengan reflektivitas ini menghasilkan dua akibat penting yaitu tradisi lama yang ada semakin kehilangan otoritas dan keberan semakin kehilangan kepastian.

Baca Juga: Sistem Nafsani: Unsur Metafisik di Balik Diri dan Perilaku

Semakin hilangnya otoritas dari tradisi dan kepastian atas kebenaran, menyebabkan peradaban modernisasi sangat diwarnai skeptisisme atau penuh rasa keragu-raguan.

Dapat dikatakan bahwa manusia modern adalah manusia yang tidak punya akar, tidak memiliki visi yang jelas untuk masa depan.

Manusia modern adalah manusia yang hidup hanya untuk masa kini, sikap yang penuh rasa curiga dan eksperimental ini memang bagus untuk perkembangan ilmu, namun itu semua tidak memadai untuk menghayati kehidupan itu sendiri.

Pada kenyataannya, segala gejala kekosongan batin dan kehampaan terhadap makna yang meriap di kalangan orang-orang modern.

Manusia modern hidup bagaikan daun kering yang melayang-layang seturut terpaan angin, dan juga bagai orang yang senantiasa terus berjalan namun tidak jelas hendak mau kemana.

Keberartian hidup terasa nyata bila menuntut kepastian tertentu tentang arah dan kenyataan pada hakekat serta pada suatu visi tentang totalitas yang bersifat transhistoris.

Dalam hal ini tradisi menjadi faktor penting dimana tradisi dapat dianggap sebagai stock pengalaman, paradigma dan simbol yang telah melampaui berbagai kegagalan moral maupun eksistensial, individu maupun sosial.

Stok pengalaman ini memiliki kemampuan untuk memberi makna dan arah yang disertai dengan rasa kesinambungan historis dalam konteks totalitas dengan tingkat kepastian tertentu, eksistensial dari persoalan manusia yang paling mendasar tidak banyak mengalami perubahan dari dulu hingga kini.

Namun, klaim-klaim terhadap kebenaran agama pada umumnya didasarkan pada otoritas tradisi yang berbicara tentang makna hakiki kehidupan dan totalitas pada kenyataan yang secara transhistoris dan metafisis.

Ilmu/Sains

Belakangan ini, budaya abstraksi telah melahirkan berbagai aneka sistem dengan kategori yang rumit, berupa khasanah pengetahuan ilmiah beserta segala pencabangannya yang kompleks.

Maka tidak mengherankan pada saat sekarang sains cenderung dipercaya sebagai sumber yang paling meyakinkan tentang keberanan dan tujuan hidup.

Dalam hal ini, menganggap sains sekaligus sebagai penentu makna dan tujuan hidup adalah ibarat menganggap setiap insinyur sama dengan pendeta/ulama.

Disini dihasilkan kerancuan yang sangat besar yaitu hilangnya segala tatanan nilai, moralitas yang amat permissif, lalu berakibat pada merajalelanya gelagat hedonisme vulgar, kekerasan, pelecehan seksual, depresi, dan sebagainya.

Kerangka ilmiah memang berbeda dengan kerangka spiritual keagamaan. Kedua kerangka ini lebih menekankan, pertama: fakta, bersifat deskriptif, sektoral, mekanisme, dan menuntut presisi.

Kedua: bersifat preskriptif, holistik serta menjelaskan tujuan dan makna dan menuntut re-interpretasi. Demikian kedua bidang ini tetap saling berhubungan dan saling memerlukan satu sama lain.

Mitos Individu

Modernisasi juga dibangun berdasarkan penghargaan tertinggi atas manusia sebagai individu. Hal ini telah berhasil memberikan dampak yang bagus, sekurang-kurangnya telah melahirkan penghargaan bagi hak asasi dan martabat kemanusiaan.

Namun dibalik itu semua, kesibukan mengaktualisasi diri justru mengakibatkan setiap individu semakin terlepas dari sesama dan lingkungannya, terkurung dalam ruang-ruang privasi masing-masing.

Perkembangan teknologi modern telah menghasilkan berbagai peralatan yang berguna dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Segala peralatan ini menjadikan kehidupan privat semakin nikmat untuk dirasa: individu dapat menikmati walkman, stereo-set, video, bahkan bioskop layar lebar, kolam renang, dan sebagainya.

Sendirian di kamarnya, di rumahnya, di mobil atau pesawat pribadinya, tanpa diganggu orang lain. Orang lain cenderung dipandang sebagai gangguan. Depresi, kesulitan berkomunikasi, kesulitan bersosialisasi, rasa bersalah, penyesalan, dan lain sebagainya.

Semua hal tersebut di atas, memang tidak lagi diatasi  lewat agama, namum melalui psikoterapi yang diyakini dapat membantu memberi katarsis dan kelegaan.

Manusia modern cenderung jatuh menjadi narsistis, tidak mampu hidup bersama dengan orang lain, yang pada akhirnya tidak mampu mencapai kepenuhan identitasnya sendiri secara matang.

Aktualisasi diri menjadi boomerang dan penghancuran diri. Aktualisasi diri dan kematangan identitas yang sehat hanya dapat diraih jika keluar dari kesempitan ruang privat sang ego.

Pada titik ini, agama dapat berpeluang sangat besar untuk menggunakan kekuatan persuasifnya dalam membongkar benteng egoisme dan narsisme, serta dapat menghubungkan individu dengan individu lainnya dalam ikatan komitmen untuk menaruh perhatian terhadap sesama dan tidak terlalu egois pada diri sendiri.

Materialistik

Hal pokok yang diekplorasi, diolah dan diproduksi secara besar-besaran oleh dunia modern adalah materi. Dunia modern telah berhasil menciptakan dunia kenikmatan material yang fantastis dan seolah-olah manusia dibuat selalu bergantung olehnya.

Bersama dunia pasar, dan industri yang telah berkemang dengan pesatnya telah menciptakan kegialaan terhadap kenikmatan material yang semakin susah untuk dikendalikan.

Orang-orang pun terbius total olehnya: orang bekerja habis-habisan, akhirnya hanya untuk dapat membeli komoditi material dan menumpuknya bahkan mungkin tidak sempat lagi untuk menikmatinya.

Kebutuhan akan makna tergilas oleh kebutuhan akan benda yang kian tidak terkendalikan lagi. Manusia yang lebih manusiawi sekarang ini seakan identik dengan memiliki lebih banyak harta benda.

Kegelisahan yang hakiki dari jiwa manusia sekarang hanya terfokus pada pencaran ketentramannya melalui alam benda. Manusia modern cenderung menjadi budak pasar dan industri.

Perasaan menjadi bagian dari kesatuan kosmis yang lebih luas, dan komitmen terhadap tujuan-tujuan ideal besar yang adalah merupakankebutuhan dasar manusia.

Hanya denga itulah hidup manusia dapat menemukan makna terdalamnya dan kegelisahan yang hakiki untuk menemukan ketentramannya.

Kebutuhan dasar manusia tidak bisa dipenuhi hanya dengan aneka kenikmatan fisik ataupun tumpukan barang-barang mewah, tidak pula dengan ideologi politik yang sempit.

Hal ini hanya akan terpenuhi melalui nilai ideal yang berskala universal, kosmis, bahkan metafisis. Dengan kata lain, agamalah yang sebetulnya paling mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia tersebut.

Harapan Bagi Masa Depan

Kita telah dihadapkan dengan lingkaran kritik timbal balik antara agama dan paradigma modern. Secara ringkas, agama memiliki peluang untuk menghancurkan benteng narsisisme paradigma modern sambil menawarkan struktur makna yang berwawasan transhistoris, kosmis, dan etis-metafisis.

Di sisi lain reflektivitas kritis modern sebenarnya berpeluang juga untuk menggali keluhuran nilai-nilai keagamaan dan dengan itu dapat memurnikan pula hakekat dan peran fundamental dari agama dalam perjalanan peradaban manusia.

Dialetika interaksi kritis mempermasalahkan perkara basic trust terhadap kehidupan dan alam semesta serta upaya manusia dalam menjalankan evolusi peradabannya. Setiap manusia sebetulnya memiliki basic trust atau kepercayaan dasar tertentu terhadap lingkungan semesta kehidupnya.

Sistem-sistem keagamaan dapat dipandang sebagai sistem-sistem untuk merumuskan, menata, dan mengembangkan naluri alam bawah sadar terhadap nilai-nilai kehidupan.

Melalui sistem-sistem keagamaan ini idelanya kepercayaan dasar akan naluri terhadap kebaikan dapat berkembang menjadi upaya-upaya dalam mewujudkan potensi-potensi kemanusaiaan secara optimal yang sesuai dengan keluhuran martabat manusia.

Seiring berjalannya waktu, agama seringkali harus menyesuaikan diri dengan kerangka berpikir seiring dengan berubahnya zaman dan juga berupaya untuk melindungi nilai-nilai luhur atas kebaikan dari ancaman paradigma zaman modern yang semakin memburuk.

Dengan demikian, selama manusia masih percaya terhadap pentingnya nilai-nilai kebaikan. Manusia harus bisa memperjuangkan kebaikan untuk merintis pembebasan diri menuju martabatnya yang tertinggi sebagai manusia.

Dengan itu pula, masih ada harapan bahwa agama dapat survive, dengan catatan: agama sendiri harus mampu tampil sebagai pembela kehidupan, kebebasan, dan kemanusiaan secara global.

Dengan begitu, agama tidak hanya bisa survive tetapi harus bisa memberikan andil efektif untuk memicu peradaban yang semakin memperjuangkan kebebasan manusia menuju puncak harkat dan martabatnya.

Sebaliknya, jika dalam kenyataannya agama menjadi pemicu naluri destruktif, dan tidak mampu mengintegrasikan reflektivitas kritis modern dalam dirinya, agama akan semakin kehilangan kewibawaannya, dan juga akan semakin dianggap infantilisme atau bahkan primitivisme yang layak disingkirkan dari peradaban dan kehidupan manusia di dunia.


Sumber:

Dr. I. Bambang Sugiharto: Religi Sebagai Kekuatan Kritis dan Transformatif Menuju Masyarakat Yang Lebih Manusiawi. Bandung, 1995

Salurkan Pemikiranmu!

Ingin artikelmu diterbitkan seperti ini? Kamu bisa! Yuk, salurkan pemikiranmu lewat artikel opini dan listicle di Payung Merah!

 Tulis Artikel

Gabung LINE@


Bagaimana Menurutmu?

Mari Viralkan Tulisan Ini!

1
23 shares, 1 point

Apa Reaksi Kamu?

Kesal Kesal
10
Kesal
Kocak Kocak
16
Kocak
Marah Marah
13
Marah
Kaget Kaget
18
Kaget
Inspiratif Inspiratif
22
Inspiratif
Keren Keren
8
Keren
Pilih Satu Format
Kuis Trivia
Serangkaian pertanyaan dengan jawaban yang benar dan salah yang bermaksud untuk menguji pengetahuan/wawasan
Opini
Tulis opini dan tambahkan elemen visual seperti gambar dan video
Listicle
Buat artikel dalam bentuk Listicle dan lengkapi dengan elemen visual