Disclaimer
Payung Merah adalah media yang menyediakan bacaan dan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Belajar Dari Kebijakan Multikulturalisme di Kanada – Multikulturalisme adalah sebuah kata yang sangat sering digunakan dalam kehidupan masyarakat namun terdapat keraguan untuk mendefinisikan apa definisi dari multikulturalisme.
Multikulturalisme sendiri dapat diasosiasikan dengan identitas politik, perbedaan politik ataupun political recognition dimana dalam sebuah masyarakat terdapat kelompok mayoritas dan minoritas yang saling berinteraksi kemudian dapat mengakibatkan adanya marjinalisasi terhadap kelompok tertentu (Young 1990, Taylor 1992, Gutmann 2003).
Dalam sebuah multikulturalisme terdapat perbedaan bahasa, etnis, kewarganegaraan, dan ras dalam sebuah kelompok sehingga menjadikannya konsep yang memiliki makna luas dan semuanya ini merupakan satu kesatuan dengan konsep budaya (Song, 2008).
Dalam sebuah negara budaya dapat menjadi salah satu fondasi dan latar belakang terbentuknya sebuah kesatuan masyarakat, seperti contoh pada kasus yang terjadi di Indonesia dimana terdapat bermacam suku yang nilai-nilai satu kelompok dengan yang lain berbeda.
Baca Juga: Tanah Penuh Harapan Itu Mulai Dirampas!
Namun, perbedaan yang terjadi di Indonesia tidak menghalangi terciptanya sebuah kesatuan dan hingga saat ini kontrak yang terikat dalam setiap masyarakat budaya di Indonesia masih terjaga dan utuh. Multikulturalisme dalam sebuah negara juga dapat terjadi tidak hanya pada penduduk asli di negara terkait namun adanya jalur masuk bagi masyarakat luar ke dalam negara yang dituju. Hal tersebut akhirnya menimbulkan berkumpulnya budaya lain yang berbeda di negara tersebut.
Hal ini menjadikan negara-negara yang menjadi tujuan imigran harus menyusun kebijakan yang dapat mengakomodasi dan merekognisi keragaman budaya yang terjadi dan tentunya mengakomodir hak kelompok minoritas (Kymlicka, 2012).
Keragaman dan Kebijakan Multikulturalisme
Keragaman budaya menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam sebuah negara yang rentan terjadi gesekan akibat dari nilai berbeda yang dianut dalam tiap kelompok dimana interaksi terus terjadi dan dijalin oleh kelompok-kelompok yang berbeda ini (Hjort, 1992).
Berbagai potensi konflik ini yang menjadi fokus negara membentuk kebijakan yang dapat mengakomodir keberadaan kelompok minoritas yang selain untuk melindungi warga negara, juga agar tercipta stabilitas dalam negara tersebut dan menghindarkan negara dari potensi perpecahan.
Konflik yang terjadi akibat kompleksnya multikulturalisme telah terjadi di negara Indonesia dimana gesekan terjadi karena sensitifnya isu agama seperti yang tercermin dalam konflik yang terjadi di Ambon dan juga kelompok Ahmadiyah yang menjadi korban kekerasan karena anggapan ajaran yang tidak sesuai dengan kepercayaan kelompok Sunni.
Selain fenomena sosial yang terjadi di Indonesia, hal berbeda terjadi di Kanada dimana kaum imigran dapat aktif dan turut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik ditandai integrasi imigran dari Vietnam ke Toronto juga masyarakat Portugis (Bloemraad, 2006).
Kisah sukses kebijakan multikulturalisme yang terjadi di Kanada merupakan salah satu hasil dari adopsi kebijakan multikulturalisme, dan Kanada merupakan negara barat pertama yang mengadopsi kebijakan ini secara resmi terhadap kelompok imigran dan menjadi salah satu negara dimana multikulturalisme ditemukan dalam konstitusinya (Kymlicka, 2012).
Hal ini menjadi bukti dimana multikulturalisme dalam sebuah negara dapat berjalan dengan baik bila kebijakan yang dilaksanakan dan disusun dapat diikuti oleh masyarakat. Di Kanada, imigran cenderung menjadi warga yang melakukan pemilihan dan menjalankan pemerintahan dimana mereka juga dipilih oleh imigran lainnya dan tidak ada diskriminasi terhadap para kandidat.
Dalam buku teori kriminologi, Kemal Darmawan menjelaskan teori Sellin mengenai konflik kebudayaan dimana ada dua konflik yaitu primary conflict dan secondary conflict.
Primary conflict menjelaskan bahwa konflik terjadi karena tiga situasi, yaitu:
- Terdapat dua masyarakat yang ada dalam closed proximity maka border conflict rentan terjadi,
- Berpindahnya kelompok ke wilayah lain dan kelompok tadi memperluas norma legal agar dapat mengambil wilayah budaya lain, dan
- Adanya pemaksaan pada kelompok untuk mengikuti aturan budaya wilayah yang didatanginya
Sedangkan secondary conflict menjelaskan konflik dalam satu budaya yang sama namun karena adanya upaya pengembangan sub-kebudayaan menggunakan norma tingkah laku masing-masing (Darmawan, 2014).
Kebijakan Multikulturalisme di Kanada: Dulu dan Sekarang
Berasumsi dengan menggunakan teori Sellin yang dipaparkan oleh Kemal dalam bukunya, kemungkinan tiga situasi ini tidak terjadi secara masif di Kanada; dan dengan tambahan adanya kritik yang mengatakan imigran Kanada yang datang ke Kanada adalah imigran dengan kemampuan yang lebih baik dibanding imigran yang datang ke negara barat lainnya seperti yang ditulis Kymlicka.
Kanada adalah negara yang penuh dengan keragaman. Selain masyarakat Aboriginal dan kelompok masyarakat Inggris dan Perancis, ada pula bermacam kelompok etnis yang dapat ditemui di Kanada seperti keturunan Jerman, Italia, Belanda, Ukraina, China, Kulit hitam, dan Indo-Pakistani (Kelly, 1995; Renaud & Badets, 1993).
Sedikitnya hampir 10 persen penduduk Kanada merupakan kaum minoritas yang terlihat (Kelly, 1995). Kebijakan imigrasi Kanada yang berganti setiap saat menghasilkan populasi yang cukup stabil pada beberapa dekade sebelumnya dengan berada pada level 16% dan kelompok imigran tersebut berasal dari Amerika Utara dan Eropa.
Namun, sejak awal tahun 1960-an terjadi perubahan dimana imigran yang datang adalah masyarakat yang berasal dari Asia, Timur Tengah, Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, dan juga dari negara-negara Afrika (Badets, 1989,1993; Logan, 1991).
Kebijakan resmi Kanada yang awal terkait multikulturalisme adalah “Multikulturalisme dalam Kerangka Bilingual” diumumkan pada tahun 1971 dengan tujuan untuk merespon fenomena dalam kehidupan sosial masyarakat Kanada (Esses, Gardner, 1966).
Hal ini adalah upaya untuk membangun Kanada sebagai negara yang memiliki status sama dengan kelompok Inggris dan Perancis dan ketakutan akan budaya masyarakat Kanada yang dikhawatirkan berkurang pengaruhnya.
Kebijakan imigrasi Kanada membuka pintu bagi diakuinya multikulturalisme di Kanada dan kebijakan ini menjadikan sistem imigrasi dimana tidak akan ada diskriminasi terhadap mereka yang bukan dari kelompok masyarakat Eropa.
Dengan kebijakan yang dibangun dalam membentuk sistem imigrasi Kanada dan langkah pemerintah Kanada untuk menghargai keragaman etnis menjadikan multikulturalisme sebagai identitas nasional dan sebuah kebanggan.
Pada tahun 1988 kebijakan “Act for the preservation and Enhancement of Multiculturalism in Canada” yang pada intinya adalah mempertahankan multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat Kanada juga berharap akan hasil dimana keberlangsungan kelompok pribumi dan budayanya serta toleransi dalam keragaman kelompok lainnya (Esses, Gardner, 1966).
Adanya kebijakan imigrasi sebagai pendukung kebijakan multikulturalisme yang diterapkan di Kanada memberikan identitas multikulturalisme di Kanada namun hal ini tidak serta-merta menghilangkan potensi terjadinya gesekan antar kelompok minor dan mayor ketika berinteraksi.
Sebagai contoh, pelajar internasional dari benua Asia yang datang untuk melanjutkan pendidikan di Kanada. Kemudian timbul kecemburuan oleh pelajar domestik berkulit putih saat bersaing dengan pelajar Asia yang dianggap sangat sungguh-sungguh dalam belajar sehingga nilai yang didapat pelajar Asia menjadi lebih baik dan kemudian menciptakan suasana kompetitif dalam kampus tersebut (Findlay & Kohler, 2010).
Hal ini menunjukkan bahwa masalah multikulturalisme merupakan tantangan yang sangat besar bagi sebuah institusi khususnya negara untuk dapat diatur. Selain karena kerentanan sebuah peraturan merupakan produk dari kelompok mayoritas yang ingin memasukkan agenda kepentingan kelompok tersebut (Darmawan, 2014).
Apa yang terjadi di Kanada merupakan satu contoh kesuksesan dalam penerapan kebijakan multikulturalisme yang berjalan dengan baik meskipun terdapat potensi munculnya masalah dimana nilai yang berbeda menjadi salah satu instrumen yang menyebabkan terjadinya sebuah konflik.
Salurkan Pemikiranmu!
Ingin artikelmu diterbitkan seperti ini? Kamu bisa! Yuk, salurkan pemikiranmu lewat artikel opini dan listicle di Payung Merah!
Gabung LINE@