Disclaimer
Payung Merah adalah media yang menyediakan bacaan dan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Islam Wasathiyyah: Wajah Baru Diplomasi Indonesia – Indonesia, negri dengan penduduk muslim terbesar di dunia yaitu sejumlah 85 persen atau lebih dari 200 juta jiwa merupakan penganut agama Islam dari 261 juta jiwa berdasarkan data terakhir Sensus 2016.
Pemerintah-pun turut mensyiarkan kepada publik dunia bahwa Indonesia merupakan rumah bagi Islam moderat yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan perdamaian di antara berbagai kalangan.
Hal ini menjadikan nilai-nilai Islam sebagai ‘ilham’ dan ‘inspirasi’ untuk memoderenkan ‘senjata’ politik luar negeri dalam menghadapi berbagai tantangan global, termasuk ancaman yang masih membayangi hingga kini, yaitu terorisme.
Baca Juga: Demokrasi: Tugas Yang Tidak Pernah Selesai
Bulan Mei 2018, merupakan bulan yang dimeriahkan dengan berbagai serangan teror hingga membuat masyarakat resah. Berawal dari kericuhan di Markas Komando Brigadir Mobil di Kelapa Dua, Depok yang berakhir dengan kematian dan pemindahan sejumlah Nara Pidana Teroris (Napiter) yang mayoritas Muslim ke Nusa Kambangan karena didakwa sebagai pemicu kerusuhan di dalam sel.
Tidak berhenti disitu, 13 Mei 2018 tepat di hari Ahad, terjadi pemboman Gereja GKI di Surabaya. Pelakunya melakukan bom bunuh diri dengan membawa serta keluarganya. Lalu juga di Sidiorajo dengan modus serupa.
Serta aksi teror di Riau pada 16 Mei 2018, pelaku menyerang Markas Polisi Daerah pasca Tabligh Akbar menggunakan pedang dan melukai beberapa orang.
Kejadian-kejadian tersebut membuat kecurigaan, khususnya pada agama tertentu semakin mencuat dan mengancam stabilitas negara.
Baca Juga: Agama Sebagai Energi Pembebasan
Padahal, menurut Prof. Din Syamsuddin pada acara Indonesia Lawyer Club (15 Mei 2018), munculnya fenomena terorisme merupakan by design dan artificial sebagai akibat dari tekanan global dan faktor-faktor non-ideologis seperti kemiskinan serta ketidakadilan yang muncul di kehidupan masyarakat.
Sebelum rentetan teror terjadi, pada 1 hingga 3 Mei 2018 telah diselenggarakan High Level Consultation – World Muslim Scholars (HLC-WMS) on Wasatiyyat Islam yang bertempat di Bogor guna memoderasi pandangan terhadap Islam.
Ulama dari berbagai negara berkumpul untuk bersepakat menekankan prinsip “moderat” atau wasathiyah pada Islam agar dapat menepis stigma negatif yang berkembang pada Islam dan mengembalikan pandangan terhadap Islam sebagai agama yang luhur, penyebar perdamaian dan kebajikan.
Baca Juga: Sistem Nafsani: Syahwat sebagai Naluri Alami Manusia
Prof. Din Syamsuddin yang merupakan Utusan Khusus Presiden dan initiator dibalik terselenggaranya hajatan tersebut patut menyadari bahwa urgensi Islam Wasathiyyah sebagai prinsip hidup umat Muslim dunia untuk diimplementasikan sangat tinggi.
Utamanya, untuk mencegah berkembang luas ideologi ekstremisme (ghuluwiyyah) dalam memahami agama dan menghapus pandangan terorisme yang melekat pada Islam.
Wajah Baru Diplomasi Indonesia
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah terpatri dalam benak tiap individu Indonesia, bahwa setiap warga turut andil dalam ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Semua orang harus ikut serta, selama ia menghargai dirinya sebagai warga negara Indonesia. Terlebih muslim yang menganut Islam, agama perdamaian.
Baca Juga: Mempertahankan Ketakwaan di Hadapan Media Sosial
Tidak hanya dalam kancah domestik, tetapi juga internasional dimana kini ada 1,6 miliar jiwa penganut Islam di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
Pada 2 September 1948, Mohammad Hatta dalam pidatonya di depan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berjudul “Mendayung di Antara Dua Karang” telah menetapkan prinsip dasar Politik Luar Negeri Indonesia yaitu Bebas-Aktif.
Terkait prinsip Bebas-Aktif, diinterpretasikan oleh Menteri Luar Negeri, Retno L.P. Marsudi pada Pernyataan Pers Tahunan 2016, Indonesia berkomitmen untuk “Bebas” dalam menentukan sikap atas masalah-masalah internasional dan terlepas dari fenomena polarisasi kekuatan ideologi yang ada di dunia dan “Aktif” berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan dunia, termasuk salah satunya tentang terorisme yang berkaitan dengan Trans-national Crime Organization.
Baca Juga: Sistem Nafsani: Nurani Sang Komplementer
Jika dikaitkan dengan prinsip Bebas-Aktif ala politik luar negeri Indonesia, Islam Wasathiyyah merupakan pembaharuan wajah diplomasi Indonesia yang mencoba melepaskan diri dari tarikan ideologi ekstrem (ghuluw), khususnya dalam memahami praktik agama.
Islam Wasathiyyah ditujukan untuk masyarakat muslim dunia untuk memoderasi Islamnya yang bertujuan untuk aktif berkontribusi dalam perdamaian dunia.
Soft-power yang Indonesia andalkan dalam kampanye Islam Wasathiyyah berhasil mendatangkan berbagai ulama dan cendikiawan yang cukup otoritatif di negaranya masing-masing yang diharapkan mampu mensyiarkan hasil dari HPC-WMS yang melahirkan Bogor Message.
Islam Wasathiyyah: Wajah Baru Diplomasi Indonesia
Terdapat 7 poin inti dari Bogor Message yang merupakan pengejawantahan pemikiran peserta HPC-WMS, yaitu:
1. Tawassut – توسّط
Sikap yang menekankan posisi yang berada di jalur tengah dan lurus;
2. I’tidal – إعتدل
Berperilaku yang proporsional dan selalu adil serta bertanggung jawab;
3. Tasamuh – تسامح
Bersedia mengakui dan menghormati adanya perbedaan dalam banyak aspek kehidupan;
4. Syura – شورى
Keputusan-keputusan umat Islam bersandar pada konsultasi dan penyelesaian masalah melalui musyawaran demi mufakat;
5. Islah – إصلاح
Umat Islam diharapkan terlibat dalam tindakan reformatif dan konstruktif demi kebaikan bersama;
6. Qudwah – قدوة
Melahirkan inisiatif mulia dan mempimpin kesejahteraan seluruh umat manusia;
7. Muwatonah – موطنة
Sikap mengakui keberadaan negara bangsa dan menghormati konsep kewarganegaraan.
Haedar Nashir, dalam opininya terkait Islam Wasathiyyah yang dipublikasikan Harian Republika (2/5/2018) mengatakan Islam tengahan atau wasathiyah adalah Islam yang sikap beragamanya tidak ekstrem (ghuluw), sehingga membentuk Muslim yang berakhlak mulia, damai, toleran, dan bermualamah dengan siapa saja secara makruf, namun tetap memiliki keteguhan prinsip dalam berakidah, beribadah dan berakhlak seperti Nabi ﷺ.
Baca Juga: Sistem Nafsani: Hati sebagai Penyeimbang dan Penentu
Hal ini sudah sejalan dengan apa yang Muhammadiyah lakukan melalui kampanye Islam Berkemajuan. Bedanya, Islam Berkemajuan diaplikasikan dalam ranah domestik, sementara Islam Wasathiyah masuk ke ranah global.
Presiden Joko Widodo juga meyakini bahwa Islam Wasathiyahh akan menjadi poros utama dalam multi-track diplomacy yang saat ini tengah Indonesia lakukan.
Salurkan Pemikiranmu!
Ingin artikelmu diterbitkan seperti ini? Kamu bisa! Yuk, salurkan pemikiranmu lewat artikel opini dan listicle di Payung Merah!
Gabung LINE@