Disclaimer
Payung Merah adalah media yang menyediakan bacaan dan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Tanah Penuh Harapan Itu Mulai Dirampas! – Jauh sebelum saya memutuskan untuk menuliskan segala macam keluh kesah yang terjadi terhadap kehidupan sosial dan kemanusiaan, Indonesia saat ini masih menjadi pusat optimisme. Terbukti dalam hasil studi Yougov, Indonesia menempati peringkat kedua dari 9 negara yang diteliti.1
Beragam masalah terjadi, seperti konflik agraria yang tidak kunjung usai permasalahannya. Tercatat, tahun 2016 konflik Agraria mengalami peningkatan dari tahun 2015.2
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sedikitnya ada 450 konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2016. Luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Tahun sebelumnya tercatat 252 konflik. Jumlah itu disusul sektor properti 117 konflik, dan infrastruktur 100 konflik. Kemudian, 25 konflik terjadi di sektor kehutanan, 21 konflik di sektor tambang, dan masing-masing ada tujuh konflik di sektor migas dan pertanian.
Salah satu komoditas perkebunan yang perlu mendapat perhatian adalah komoditas sawit. Sebagai komoditas ekspor yang menguasai lebih dari 11 juta hektar tanah di berbagai provinsi, sawit banyak menimbulkan persoalan terutama dalam hal kepemilikan lahan.
Konflik ini seakan abadi, sejak era kolonialisme hingga saat ini konflik agraria tidak pernah jelas proses penyelesaiannya.
Konflik agraria seperti ini tidak jauh berbeda dengan yang saya temukan secara langsung. Sebagai rakyat biasa, bermukim di tanah adat dan disetujui sebagai lahan negara membuat pemilik modal berlaku seenaknya kepada warga yang tidak kuasa untuk memiliki dokumen kepemilikan lahan.
Presiden Jokowi harus turun tangan, Indonesia memilih beliau untuk menyelesaikan masalah pelik seperti ini. Resolusi konflik harus segera dilakukan lebih serius lagi.
Selain program 1 juta sertifikat tanah untuk warga miskin, rekonsiliasi antar-pihak yang berkonflik harus ditengahi. Menurut saya, intervensi dari pemegang wewenang pun perlu dilakukan, di saat pengadilan tidak bisa memilah siapa yang benar dan salah.
Baca Juga: Bagaimana Seharusnya Kita Belajar Dari Kebijakan Multikulturalisme di Kanada?
Sudah banyak artikel hingga thesis maha komprehensif yang telah diterbitkan untuk menyelesaikan konflik agraria ini. Tetapi semua kajian itu sia-sia saja apabila pemerintah tidak pernah serius menyelesaikan masalah ini.
Dalam teori the conflict resolution, Bodine and Crawford (Jones dan Kmitta, 2001: 2) merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif resolusi konflik.
Bodine and Crawford menawarkan 4 kemampuan untuk dapat menanggulangi konflik Agraria, antara lain:
- Kemampuan Orientasi
- Kemampuan Persepsi
- Kemampuan Emosi
- Kemampuan Komunikasi
Dari 4 penggabungan tersebut bisa ditafsirkan secara eksplisit bahwa langkah-langkah penyelesaian tidak bisa dimaknai sebagai eksekutor (dalam hal ini pemerintah). Lalu apakah tepat jika pemerintah sebagai mediator dan menciptakan suasana yang utopis?
Sebagai upaya penyelesaian konflik, glorifikasi korporat sebagai pihak yang selalu merugikan civil society merupakan langkah yang cukup arief apabila tidak ingin konflik terus berkelanjutan.
Responsibility harus dimiliki para penikmat sumber daya alam, agar jauh sebelum melakukan intimidasi kepada warga kecil mereka bisa memahami hal utama tentang sendi-sendi sosial dalam amanat Konstitusi.
Pemerintah sebagai pemegang mandat atas kedaulatan rakyat, seharusnya bisa mengatur dan menentukan lahan yang boleh dialih-fungsikan dan mana lahan yang menjadi tanah adat masyarakat sekitar.
Tangisan para Ibu dan Anak, di sisi lain, menandakan matinya kemanusiaan di Bumi Pertiwi ini tanpa mempertimbangkan roh Pancasila mengenai “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Janji politik untuk mendapatkan suara mereka yang sangat dibutuhkan saat masa pemilu, menjadi cambuk tersendiri bagi masyarakat sipil.
Nyaringnya suara mereka dibungkam oleh dinginnya jeruji besi dengan kriminalisasi oleh penegak hukum.3
Sudahlah, air mata sebagai penanda perih nasib seorang masyarakat kecil, hanya sebatas menjadi hiasan dari hiruk-pikuk kesemerawutan pemilik wewenang di negeri ini. Di sisi lain, menjadi komoditi kampanye yang seksi bagi penebar janji manis para politisi.
Rest in peace humanity!
Gambar: Kastratfemipb
Salurkan Pemikiranmu!
Ingin artikelmu diterbitkan seperti ini? Kamu bisa! Yuk, salurkan pemikiranmu lewat artikel opini dan listicle di Payung Merah!
Gabung LINE@
Daftar Pustaka
- Media, Kompas Cyber. “Survei: Indonesia Negara Paling Optimistis Kedua di Dunia.” KOMPAS.com. Accessed May 17, 2017. http://internasional.kompas.com/read/2016/03/01/14003431/Survei.Indonesia.Negara.Paling.Optimistis.Kedua.di.Dunia?page=1.
- Media, Kompas Cyber. “Konflik Agraria Naik Hampir Dua Kali Lipat pada 2016.” KOMPAS.com. Accessed May 17, 2017. http://nasional.kompas.com/read/2017/01/05/15230131/konflik.agraria.naik.hampir.dua.kali.lipat.pada.2016.
- “Ketika Tuntutan Petani Tulang Bawang Dijerat Pidana.” Tirto.id. Accessed May 17, 2017. https://tirto.id/ketika-tuntutan-petani-tulang-bawang-dijerat-pidana-cjLw.