Disclaimer
Payung Merah adalah media yang menyediakan bacaan dan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Jurus Menahan Nafsu dan Perkembangan Teknologi Finansial – Dalam sebuah film hollywood berjudul Wall Street yang dibintangi oleh aktor ternama Charlie Sheen, diceritakan tentang bagaimana kehidupan dalam dunia perdagangan saham di Amerika Serikat.
Charlie Sheen yang berperan sebagai Bud Fox, seorang pekerja muda yang bekerja sebagai Account Executive perusahaan Broker.
Di satu saat ia mencoba menawarkan menjadi broker untuk seorang pengusaha ternama Gordon Gekko salah satu pemain besar dalam dunia finansial di AS.
Baca Juga: Akhlaqul Sosmediyah Menyambut Pesta Demokrasi 2019
Sebagai anak muda yang masih dipenuhi idealisme, ia sempat menolak untuk menjadi inside trader. Inside Trader adalah seorang yang memiliki akses di dalam perusahaan dan menggunakan informasi yang didapatkan untuk membeli atau menjual saham yang diperkirakan akan naik atau turun dalam tempo waktu tertentu.
“Satu hal tentang uang, ia membuatmu melakukan sesuatu yang tidak ingin kamu lakukan”
– Wall Street (1987)
Idealisme Bud Fox perlahan luntur ketika ambisinya mendapatkan lebih banyak uang datang dalam kesempatan yang terbatas. Pada akhir cerita Bud Fox ditangkap pihak Komisi Sekuritas dan Perdagangan Amerika Serikat.
Jurus Menahan Nafsu dan Perkembangan Teknologi Finansial
Perkembangan teknologi yang cepat dan potensi masyarakat Indonesia sebagai pangsa pasar yang unggul menjadi daya tarik Investor lokal ataupun asing untuk mendirikan perusahaan start-up di Indonesia.
Pengembangan teknologi yang tidak setara dengan pengembangan manusia menimbulkan culture shock dalam kehidupan masyarakat.
Dalam bidang finansial contohnya, permulaan kartu kredit muncul sebagai salah satu alat pembayaran menjadikan orang berbondong-bondong membeli barang yang diinginkan tanpa menimbang kemampuannya untuk membayar kredit yang akan ditagihkan.
Baca Juga: Islam Wasathiyyah: Wajah Baru Diplomasi Indonesia
Bahkan beberapa tahun ke belakang salah satu Bank Swasta Nasional mempermudah calon konsumen mendapatkan kartu kredit demi meningkatkan transaksi di salah satu Toko yang berada dalam satu grup dengan Bank tersebut.
Pengakuan salah satu karyawan swasta, ia memalsukan slip gaji dalam proses kepemilikan kartu kredit agar kemungkinan untuk mendapatkan kartu kredit lebih mudah. Ia pun mengakui memiliki sejumlah kartu kredit dengan penghasilan sebulan sedikit di atas UMR Provinsi.
Pengalaman ini seakan juga terjadi bagi beberapa orang di luar sana yang ilmu menahan nafsunya masih belum cukup mumpuni. Kartu Kredit yang kita ketahui dahulu adalah berbentuk fisik bisa digesek ataupun ditempelkan layaknya kartu ATM.
Seiring pengembangan teknologi yang dilakukan, sekarang banyak perusahaan yang membuat sebuah aplikasi yang dapat berfungsi sebagai kartu kredit.
Bila sebelumnya ada istilah cashless, maka saya dapat mengatakan ke depan istilah cardless akan menggantikan popularitas cashless dimana fisik bukanlah segalanya.
Selain aplikasi cardless, beberapa tahun ke belakang perusahaan finansial serupa dengan koperasi mulai masuk ke Indonesia dan memberikan layanan seperti simpan pinjam dengan istilah milenial invest and loan.
Baca Juga: Demokrasi: Tugas Yang Tidak Pernah Selesai
Perusahaan ini masuk dengan embel-embel menjauhkan masyarakat dari rentenir ataupun memudahkan akses finansial bagi mereka yang belum merasakan.
Namun hal sebaliknya terjadi pada satu perusahaan yang mengkhususkan layanannya pada segi konsumerisme dimana mereka mengalami kondisi bad loan akibat mengejar calon peminjam yang belum tentu “nyata” secara fisik.
Di sisi lain potensi gagal bayar yang ada dalam masyarakat ikut menghantui bisnis ini berpijak pada kejadian gagal bayar pada konsumen kartu kredit.
Pengembangan teknologi AI dilakukan perusahaan terkait untuk mengatasi intensi buruk masyarakat yang sengaja memalsukan data.
Namun bisnis adalah bisnis, perusahaan tetap memainkan sisi emosional masyarakat sebagai peminjam ataupun pemberi pinjaman tentunya dengan segala resiko.
Baca Juga: Pengaruh Paradigma Teknokrasi Dalam Kehidupan Masa Kini
Produk-produk cicilan cardless ataupun kredit tanpa kartu saat ini menjadi “boom” baru bagi konsumen, menawarkan kemudahan dan data yang presisi. Contohnya konsumen pembeli tiket pesawat di aplikasi tentunya tidak dapat memalsukan data yang digunakan.
Memainkan sisi emosional konsumen merupakan ilmu jitu menggairahkan nafsu belanja dan mengakibatkan pada penjualan data pribadi pada korporasi yang menyediakan jasa kredit, pinjaman, ataupun cicilan cardless.
Baca Juga:
- Spesifikasi dan Harga Toyota All New Rush
- Spesifikasi dan Harga Toyota New Kijang Innova
- Mobil Terbaru Toyota New Innova TRD Sportivo
Hal ini memberikan efek besar bagi meningkatnya konsumerisme masyarakat Indonesia bila mereka tidak memampu menahan nafsu yang tidak terbendung.
Perkembangan teknologi yang tidak dibarengi dengan perkembangan mental manusia kini telah menimbulkan kondisi dimana keinginan bersifat primer dan menjadikan kebutuhan pokok bersifat sekunder.
Baca Juga: Momentum Baru Undang-Undang Pemberantasan Terorisme di Indonesia
Hingga jurus menahan nafsu paling manjur yang saat ini dapat dilakukan dalam melawan perbudakan pasar adalah meningkatkan pengetahuan tentang pendidikan keuangan.
Salurkan Pemikiranmu!
Ingin artikelmu diterbitkan seperti ini? Kamu bisa! Yuk, salurkan pemikiranmu lewat artikel opini dan listicle di Payung Merah!
Gabung LINE@