-1
34 shares, -1 points
Reformasi Sistem Pemenjaraan Menjadi Sistem Pemasyarakatan
Gambar: theatlantic.com
Disclaimer

Payung Merah adalah media yang menyediakan bacaan dan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.


Reformasi Sistem Pemenjaraan Menjadi Sistem Pemasyarakatan – Penjara merupakan kata yang sangat familiar di lingkungan masyarakat sampai saat ini sebagai tempat dimana dikurungnya para pelaku tindak kejahatan.

Banyak sekali stigma yang ada dan melekat di masyarakat ketika mendengar kata penjara. Padahal saat ini penjara di Indonesia sudah berubah nama menjadi Lembaga Pemasyarakatan atau disingkat Lapas.

Perubahan nama tersebut bukan hanya berganti namanya saja, namun semua sistem dan konsep pemenjaraan banyak yang dirombak dan berubah dengan banyak pertimbangan.

Pada saat ini, masih banyak sekali masyarakat yang menganggap bahwa penjara merupakan tempat dimana orang-orang yang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana berhak untuk dihindarkan, diasingkan, bahkan dijauhkan dari kehidupan bermasyarakat yang normal atau dapat dibilang juga pergaulan sehari-hari.

Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa penjara merupakan tempat keras dimana narapidana akan disiksa selama menjalani masa hukumannya.

Sehingga masyarakat juga berfikir bahwa semua orang jahat yang sudah masuk penjara, maka ia akan tetap menjadi jahat walaupun sudah bebas sekalipun.

Pandangan masyarakat yang seperti ini tentu harus diubah, karena peran penjara memiliki tujuan untuk mewujudkan keadilan dan juga keamanan di lingkungan masyarakat dengan cara merehabilitasi narapidana.


Reformasi Sistem Pemenjaraan Menjadi Sistem Pemasyarakatan

Penjara bukanlah tempat penyiksaan yang semata-mata hanya untuk mengurung dan menghukum orang-orang yang bersalah, namun juga berperan untuk mengubah mereka kembali ke jalan yang benar sehingga mereka siap untuk dapat kembali di masyarakat secara nyata.

Oleh sebab itu, penjara di Indonesia harus dapat menjangkau lingkungan masyarakat dan menjaga keamanan di waktu bersamaan. Dengan begitu masyarakat dapat mengenali bagaimana penjara yang sebenarnya saat ini dan juga menjadi paham bahwa seorang penjahat dapat berubah apabila diberi pimbingan dan pembinaan yang benar.

Pada akhirnya hal tersebut akan mengubah persepsi masyarakat terhadap penjara dan narapidana serta persepsi narapidana terhadap penjara itu sendiri.

Pada awalnya penjara di Indonesia berjalan menggunakan sistem pemenjaraan atau kepenjaraan dalam menangani para pelaku tindak kejahatan.

Sistem pemenjaraan ini sudah ada dan merupakan peninggalan dari zaman penjajahan belanda. Penjara berasal dari bahasa jawa yaitu penjoro yang artinya jera. Sesuai namanya sistem ini lebih menitik beratkan pada penjeraan atau membuat para pelaku kejahatan yang masuk menjadi jera dan kapok sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Penjeraan ini tidak hanya sebatas merampas kemerdekaan namun juga kerap pelakukan tindakan kekerasan yang diberikan oleh petugas kepada narapidana sebagai bentuk penjeraan tersebut.

Oleh karena itu, sistem pemenjaraan dinilai tidak manusiawi dan dan tidak kenal peri kemanusiaan karena perlakuan kasar yang sangat sering diterima oleh narapidana.

Meski begitu, perlakuan kasar tersebut dapat dinilai maklum pada saat itu karena sistem pemenjaraan memiliki prinsip penjeraan dan menganggap narapidana hanya sebagai objek semata yang dapat diperlakukan semaunya bahkan penyiksaan demi membuat mereka jera.

Namun ternyata sistem pemenjaraan ini tidak dapat menjamin para pelaku kejahatan ini jera dan tidak melakukan perbuatannya.

Bahkan banyak narapidana yang telah bebas menjadi bertambah hebat skill kejahatannya. Jika seorang napi masuk penjara karena mencuri motor, waktu keluar bukannya ia bertobat napi tersebut malah mengulangi perbuatannya bahkan dengan kasus yang lebih besar yaitu merampok sebuah rumah.

Sehingga penjara dianggap gagal dalam membuat jera para pelaku hukum dan mendapat stigma dari masyarakat yaitu penjara adalah sekolah kejahatan yang menjadikan seorang pelaku kejahatan menjadi lebih lihai ketika ia sudah bebas.

Tidak heran jika tingkat residivis tidak menurun atau bahkan lebih tinggi. Parahnya ketika residivis masuk penjara lagi, mereka akan diperlakukan lebih kasar dengan penyiksaan yang lebih buruk.

Hal seperti ini diibaratkan lingkaran setan dimana petugas memberikan perlakuan buruk kepada narapidana dan akan memberikan perlakuan yang lebih buruk lagi ketika narapidana masuk ke dalam penjara lagi (residivis).

Oleh karena banyaknya tingkat kekerasan yang kerap dilakukan oleh para petugas penjara kepada narapidana tentu dinilai sangat tidak manusiawi dan membuat banyak aktivis HAM keberatan akan hal tersebut. Karena sejatinya narapidana tetaplah manusia yang berhak untuk mendapatkan perlakuan baik.

Pada sistem kepenjaraan, kekerasan dianggap maklum dan sebagai salah satu upaya dalam mengurangi tingkat kejahatan yang ada di masyarakat dengan memberikan efek jera bagi mereka (pelaku kejahatan).

Namun kenyataannya sistem kepenjaraan tidak begitu efektif untuk mengurangi tingkat kejahatan justru hanya menimbulkan kesan negatif bagi narapidana yang sudah bebas.

Dengan begitu banyaknya pertimbangan tersebut, maka diadakan perombakan terhadap sistem kepenjaraan melalui Konverensi Lembang yang berlokasi di Bandung. Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada saat itu, yaitu Bapak Dr. Saharjo pertama kali mencetuskan Sistem Pemasyarakatan.

Istilah Pemasyarakatan ada untuk menggantikan Kepenjaraan yang sudah lebih dulu dikenal di masyarakat yang lahir pada 5 Juli 1963. Pemasyarakatan melihat bahwa pelaku kejahatan yang melibakan pelaku kejahatan itu sendiri, korban, dan masyarakat.

Kejahatan bisa muncul dan terjadi juga dengan adanya pengaruh dari masyarakat itu sendiri. Begitulah kira- kira pandangan pemasyarakatan saat itu yang menganggap bahwa pelaku kejahatan harus diperbaiki melalui proses pemulihan hubungan diri pelaku dengan lingkungan sekitarnya.

Sistem Pemasyarakatan ada untuk menggantikan Sistem Kepenjaraan yang sebelumnya lebih dulu ada dengan menerapkan konsep pembinaan dan pembimbingan yang tentu jauh berperi kemanusiaan dan lebih melindungi Hak Asasi Manusia.

Selain itu, Sistem Kepenjaraan sebelumnya dinilai tidak sesuai dengan nilai- nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan berbeda dengan Sistem Pemasyarakatan yang lebih melindungi Hak Asasi Manusia sehingga lebih sesuai dengan konsep Pancasila itu sendiri.

Sistem Pemasyarakatan merupakan serangkaian penegak hukum dengan tujuan agar narapidana yang selajutnya disebut sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan atau disingkat WBP dapat dipulihkan kembali sehingga dapat diterima di masyarakat.

Kemudian istilah Penjara sebagai tempat ditahannya para pelaku kejahatan berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan dengan harapan dapat merubah stigma negatif yang ada di masyarakat tentang penjara itu sendiri.

Merupakan sebuah tujuan dari tahap-tahap pola pembinaan bagi narapidana untuk membentuk karakter atau perlakuan yang positif atau lebih baik dari sebelumnya bagi narapidana tersebut sebagai wujud mencapai tujuan pemasyarakatan yaitu tentang mengembalikan narapidana ke jalan yang benar agar dapat di terima masyarakat kembali. Tahapan tersebut tentunya melalui berbagai macam cara.

Dalam Sistem Pemasyarakatan menggunakan konsep pembinaan dan pembimbingan, melalui konsep pendekatan tersebut tentu tidak ada unsur kekerasan sama sekali sehingga warga binaan pemasyarakatan merasa nyaman dan dekat dengan petugas dan tidak menggap sebagai momok yang mengerikan.

Warga binaan akan dibina dan dibimbing dengan sebagaimana mestinya dengan tujuan agar nantinya mereka sada akan kesalahannya dan dapat kembali kejalan yang benar sehingga mereka tidak akan melakukan kejahatan yang sama lagi atau bahkan jauh lebih parah.

Selain itu, dengan mereka menyadari kesalahannya diharapkan mereka akan memperbaiki dirinya, dan tidak akan melakukan tindak pidana kembali sehingga dapat diterima kembali di lingkungan masyarajkat bahkan dapat berperan aktif dalam pembangunan serta hidup secara wajar sepertu sedia kala.


Referensi

  • Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
  • Ilham, Andri Rinanda. 2020. Sejarah Dan Perkembangan Konsep Kepenjaraan Menjadi Pemasyarakatan. Jurnal Kajian, Penelitian & Pengembangan Pendidikan Sejarah. Vol. 5, No. 1 : Hal. 1-12
  • Darami, Muhammad Siraj. Penjara, Batas, dan Persepsi: Penggabungan Ruang Publik dengan Penjara untuk Mengubah Stigma Negatif Masyarakat.

Salurkan Pemikiranmu!

Ingin artikelmu diterbitkan seperti ini? Kamu bisa! Yuk, salurkan pemikiranmu lewat artikel opini dan listicle di Payung Merah!

 Tulis Artikel

Gabung LINE@


Bagaimana Menurutmu?

Mari Viralkan Tulisan Ini!

-1
34 shares, -1 points

Apa Reaksi Kamu?

Kesal Kesal
24
Kesal
Kocak Kocak
2
Kocak
Marah Marah
26
Marah
Kaget Kaget
5
Kaget
Inspiratif Inspiratif
8
Inspiratif
Keren Keren
21
Keren
Pilih Satu Format
Kuis Trivia
Serangkaian pertanyaan dengan jawaban yang benar dan salah yang bermaksud untuk menguji pengetahuan/wawasan
Opini
Tulis opini dan tambahkan elemen visual seperti gambar dan video
Listicle
Buat artikel dalam bentuk Listicle dan lengkapi dengan elemen visual