1
37 shares, 1 point
Sebuah Kritik: Pendekatan dan Epistemologi ala Barat
Disclaimer

Payung Merah adalah media yang menyediakan bacaan dan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.


Sebuah Kritik: Pendekatan Epistemologi ala Barat – Kata “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu epistime yang berarti kebenaran atau pengetahuan dan logos yang berarti ilmu atau pemikiran, sehingga dapat didefinisikan sebagai pemikiran atau ilmu tentang munculnya suatu pengetahuan yang dikenal dengan theory of knowledge atau juga filsafat ilmu (Basri, 2013).

Mengenal Lebih Dalam Tentang Pendekatan Epistemologi

Epistemologi mengacu kepada asal-muasal ekstraksi ilmu pengetahuan dengan peletakan prinsip-prinsip dasar yang dipengaruhi oleh pemikirnya. Prinsip-prinsip tersebut merupakan kerangka pikir dan pijakan bagi ilmu pengetahuan apapun dalam implementasinya. Oleh karena itu, jika terjadi pengembangan yang masif, suatu ilmu pengetahuan dapat melahirkan ilmu pengetahuan lain.

Abbas Hamami dalam memandang kelahiran suatu disiplin ilmu baru, berpendapat bahwa adanya kedekatan sebagaimana istilah ‘epistemologi’ yang memiliki kedekatan dengan berbagai kepustakaan filsafat seperti logika material, kritika pengetahuan, gnosiologi dan filsafat pengetahuan (dalam Surajiwo, 2008).

Kesamaan pada istilah tersebut melahirkan pemahaman tentang kemunculan suatu ilmu pengetahuan melalui fondasi dasar pemikiran, bahkan dapat muncul dari sebuah kritik. Kritik dapat menjadi pengisi celah dan kekurangan pada suatu ilmu guna mengembangkan ilmu itu sendiri menjadi suatu disiplin yang kokoh. Kelahiran suatu ilmu baru tidak lepas dari peran epistemologi yang mengokohkan kebenaran suatu disiplin ilmu.

Baca Juga: Bagaimana Seharusnya Kita Belajar Dari Kebijakan Multikulturalisme di Kanada?

Epistemologi merupakan bagian dari usaha memahami dan mengerti objek kajian secara ilmiah menggunakan penalaran sesuai dengan porsinya agar kesucian serta kemuliaan ilmu tetap terjaga dari kepentingan pragmatis dan tekanan oleh unsur apapun, baik teks maupun akal (Syafaq, 2013).

Apabila ilmu pengetahuan dikendalikan oleh kepentingan, maka hal tersebut akan menimbulkan kecenderungan untuk mengurangi objektivitas serta mereduksi hakikat ilmu yang netral atau tak berpihak. Apapun dan siapapun tidak sepantasnya menekan suatu ilmu untuk merubah bentuknya karena tuntutan pihak tertentu.

Dalam kajian epistemologi, fungsi kognitif atau penalaran pada akal memainkan peran sentral dalam memersepsi suatu ilmu pengetahuan tanpa direduksi oleh apapun. Namun, tetap harus ada keseimbangan oleh rasionalisasi yang dilakukan terhadap realita yang ada, sehingga penalaran tidak berjalan sendiri dan pandangan pun tidak menjadi buta.

Memandang Epistemologi Dengan Pemahaman Monisme dan Dualisme

Dalam memandang epistemologi, orang Barat memiliki dua pemahaman, yaitu monisme dan dualisme. Pada abad ke-17, Rene Descartes mencetuskan adanya dua substansi yang berbeda antara hal yang materil dan imateril melalui pendapat yang terkenal, yaitu cogito ergo sum.1

Hal tersebut lalu dibantah oleh monisme yang memahami bahwa segala sesuatu yang ada di dunia berasal dari satu realita yang sama, lalu tereduksi ke dalam berbagai penjelasan dan istilah ini muncul pertama kali oleh Christian von Wollf (1728).

Baca Juga: Mengenal Sistem Bargaining Justice, Aplikasi Pada Tindak Kejahatan Penipuan: Apa dan Bagaimana?

Kedua pendapat tersebut memiliki konsentrasi yang sama pada rasionalitas, sehingga suatu pengetahuan dapat menjadi ilmu ketika terbukti secara empiris melalui pengukuran yang sistematis.

Murtadha Muthahhari (1995) mengkritik pandangan Barat atas empirisme dan rasionalitas, bahwa tidak semua pemikiran dan pemahaman didapatkan dari pengalaman rasional, seperti adanya pertolongan lain dari sesuatu yang lebih besar dari manusia itu sendiri. Selain itu, diri manusia tidak akan mampu mendekati ketuhanan jika hanya mengandalkan penalaran karena Tuhan merupakan sesuatu yang imateril bagi manusia.

Menjauhkan Tuhan sama dengan mengosongkan energi spiritual yang ada dalam diri manusia sehingga mengakibatkan krisis spiritualitas seperti meningkatnya kasus bunuh diri, gangguan jiwa, waktu kosong, hippism, kurang kasih sayang, bahkan kelaparan dan pencemaran lingkungan.2

Baca Juga: Bagaimana Seharusnya Kita Belajar Dari Kebijakan Multikulturalisme di Kanada?

Manusia tidak seharusnya mengisi kekosongan dengan pengalaman yang membutuhkan waktu untuk mendapatkannya, padahal terdapat wahyu yang mampu memberikan dengan gamblang prinsip-prinsip serta nilai yang harus dipatuhi dan dijauhi. Oleh karenanya, pewahyuan merupakan bekal agar manusia tidak memulai semuanya dari nol, tetapi menginterpretasi wahyu dengan akal hingga menemukan kesimpulan yang tepat tentang dunia serta Pencipta (Zar, 2004).

Sayangnya, disebabkan oleh epistemologi Barat yang lebih menekankan kebebasan lalu menapikkan kebenaran wahyu sehingga kehidupan masyarakatnya pun cenderung mereduksi moralitas karena tidak memiliki batasan yang pasti dalam hal tersebut (Muthahahari, 1995).

Pendekatan epistemologi Barat sangat tampak pada perkembangan psikologi atau ilmu jiwa yang melegitimasi suatu hal yang tidak bermoral seperti Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender (LGBT) sebagai sesuatu yang bukan penyimpangan, seperti yang dirilis oleh American Psychiatric Association dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV yang cenderung tidak konsisten atau berbeda dari seri sebelumnya.

Baca Juga: Tanah Penuh Harapan Itu Mulai Dirampas!

Para perumus buku tersebut berargumen bahwa terdapat dinamika serta pergeseran nilai sosial sehingga mereka menghapuskan LGBT sebagai salah satu penyakit mental dengan berbagai pertimbangan terutama adanya kepentingan, tanpa mengindahkan larangan wahyu, seperti yang tertera dalam kitab-kitab suci Nasrani maupun Islam.

Padahal, penyakit kelamin Gay-Related Immune Deficiency (GRID) yang kini dikenal dengan nama Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah bukti adanya “penggeseran” pandangan tersebut, sebagaimana yang dilakukan di dalam DSM. Pembuktian adanya gen Xq28 atau Gen Gay masih rancu dan mudah disanggah, karena memang perilaku tersebut adalah penyimpangan perilaku serta penyakit pada mental.

Saran penulis, berhentilah menyatakan orang sakit sebagai sehat atau gila seakan waras. Tak perlu membenarkan sesuatu yang salah, jika memang dampak buruknya lebih banyak. Bagi manusia, diperlukan keseimbangan akal dan wahyu agar menciptakan harmoni dalam menyerap pengetahuan yang sebenarnya sehingga tidak tersesat oleh kepentingan dan tendensi sementara pribadi atau golongan.

Tak perlu mengagungkan epistemologi Barat, padahal epistemologi Timur jauh lebih otentik daripada negeri-negeri baru dan peradaban anyar yang hanya manis dipandang, busuk di dalam.


Salurkan Pemikiranmu!

Ingin artikelmu diterbitkan seperti ini? Kamu bisa! Yuk, salurkan pemikiranmu lewat artikel opini dan listicle di Payung Merah!

 Tulis Artikel

Gabung LINE@


Bagaimana Menurutmu?

Daftar Pustaka

  1. The Editors of Encyclopædia Britannica. “Mind-body dualism.” Encyclopædia Britannica. Accessed May 19, 2017. https://www.britannica.com/topic/mind-body-dualism.
  2. Ibid

Mari Viralkan Tulisan Ini!

1
37 shares, 1 point

Apa Reaksi Kamu?

Kesal Kesal
19
Kesal
Kocak Kocak
26
Kocak
Marah Marah
21
Marah
Kaget Kaget
26
Kaget
Inspiratif Inspiratif
6
Inspiratif
Keren Keren
18
Keren
Pilih Satu Format
Kuis Trivia
Serangkaian pertanyaan dengan jawaban yang benar dan salah yang bermaksud untuk menguji pengetahuan/wawasan
Opini
Tulis opini dan tambahkan elemen visual seperti gambar dan video
Listicle
Buat artikel dalam bentuk Listicle dan lengkapi dengan elemen visual