Disclaimer
Payung Merah adalah media yang menyediakan bacaan dan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Filsafah Hidup Masyarakat Batak: Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon – Di setiap lingkaran sebuah masyarakat pasti akan ada budaya yang mengalir yang menjadi identitas dari masyarakat itu sendiri.
Seperti contohnya dalam lingkar kehidupan masyarakat Batak yang terkenal dengan 3 filsafahnya yang sering disingkat menjadi 3H, yaitu Hamoraon yang berarti memiliki kekayaan atau memiliki banyak harta.
Hasangapon yang didefinisikan memiliki kehormatan atau kemuliaan bisa diartikan juga memiliki status sosial yang tinggi dan terakhir adalah Hagabeon yang bisa diartikan memiliki keturunan atau beranak cucu.
Baca Juga: Menjadi Budak Teknologi: Penjajahan Media Sosial (Season 1)
Sudah menjadi budaya dalam masyarakat Batak untuk bekerja keras agar dapat meraih 3H ini. Bahkan sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Batak, terutama untuk para orang tua, untuk memberikan penekanan tentang 3H ini kepada anak-anaknya dan memberitahukan kepada mereka bahwa 3H adalah pencapaian yang dicita-citakan bagi semua orang Batak.
Seperti lagu yang dinyanyikan oleh Victor Hutabarat yang menceritakan bahwa orangtua rela melakukan apa saja asalkan anaknya bisa sekolah setinggi-tingginya agar anaknya bisa mencapai tujuannya, yang tidak jauh dari 3H tadi.
Prinsip 3H: Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip mencapai 3H ini bukan menjadi impian bagi setiap orang Batak saja akan tetapi menjadi cita-cita kebanyakan orang di berbagai belahan dunia.
Tapi dalam perjalanannya, semakin ke sini pemikiran 3H berubah haluan dari sebuah cita-cita orang Batak yang harus dicapai untuk kesejahteraan dan agar bisa memotivasi masyarakat Batak lain dalam hal yang positif menjadi sebuah alat untuk mengejar gengsi.
Baca Juga: Pemberdayaan Terhadap Anak yang Tereksploitasi
Bahkan, hanya agar ingin dipuja oleh orang atau kelompok lain dan juga hal yang ditakutkan sekarang dalam perkembangan untuk mencapai 3H yang menjadi ambisi atau cita cita yang ditekankan oleh para leluhur kepada keturunannya dalam masyarakat Batak berubah menjadi sebuah obsesi yang dimana menurut Frankl (1968: 470).
Obsesi adalah dorongan yang tidak tertahankan atau memaksa dan tidak masuk akal untuk melakukan sesuatu. Berbeda dengan ambisi dimana setiap orang memiliki keinginan dan mempersiapkan starteginya dengan baik kemudian merealisasikannya untuk menggapai tujuannya.
Tentu ini sangat fatal bagi masyarakat Batak sendiri. Mungkin kita semua mengetahui kisah nyata yang viral belakangan ini seperti kisah cinta Daun Sangge Sangge (dalam Bahasa indonesia berarti daun sirih) dimana pihak mertua merendahkan calon menantunya seakan calon menantunya tidak setingkat dengan anaknya.
Kemudian pernikahan mereka pun tidak jadi dilaksanakan padahal sudah melewati tahap pertunangan yang sudah diberkati oleh gereja.
Bagaimana bisa mencapai Hagabeon (memiliki keturunan) jika tidak ada pernikahan? Memang sungguh ironis. Jika kita sedikit flashback, pada tahun 2000-an ada kasus yang menggegerkan Nusantara tentang keturunan Batak yang bekerja sebagai petugas pajak dengan bergelimang harta.
Baca Juga: [Kuis] Seberapa Luas Wawasanmu Tentang Kebangsaan?
Bisa dikatakan dia sudah mendapatkan Hamoraon dan Hasangapon. Tetapi sangat disayangkan dia harus mendekam di dalam penjara karena dua hal tersebut didapatkan dengan cara yang tidak baik bahkan sempat diparodikan dengan sebuah lagu yang viral pada masa itu.
Ndang di ahu, ndang di ho, tumagonan ma di begu
Dalam memperoleh posisi juga banyak yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Bahkan sesama masyarakat Batak juga saling menjegal dan yang lebih menohok lagi sampai ada istilah dalam Bahasa Batak yang sangat terkenal seperti “Ndang di ahu, ndang di ho, tumagonan ma di begu” yang berarti “Tidak di aku, tidak di kau, lebih baik untuk setan“.
Karena obsesi inilah timbul sifat iri dan bahkan tidak ingin melihat orang lain maju selain dirinya. Semua ini menjadi tamparan dan seharusnya menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat khususnya masyarakat Batak.
Baca Juga: Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Sebagai Langkah Predatoris Negara dan Kemunduran Demokrasi
Ini menjadi tugas berat bagi semua lapisan masyarakat Batak termasuk generasi muda Batak yang ada sekarang. Bagaimana untuk memperbaiki sumber daya manusia agar berkapabilitas dan dapat memperoleh 3H karena kualitas dirinya dan mempunyai ambisi yang positif dan juga bagi generasi tua.
Bagaimana bisa memberikan pengertian kepada penerusnya dengan baik sehingga tidak membebankan dan bukan mencetak generasi yang berobsesi hingga menempuh berbagai cara yang merugikan orang lain.
Sudah saatnya masyarakat Batak saling membantu dan saling memotivasi bukan menunjukkan kebesaran dan menyepelekan orang Batak lain karena ini adalah masalah serius.
Jangan sampai pendapat masyarakat lain melihat masyarakat Batak dalam sebuah komunitas dipandang negatif bahkan jangan sampai di dalam masyarakat Batak sendiri saling berpandang negatif.
Buat apa Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon didapat bila malah terpecah belah? Karena bukan itu yang diinginkan leluhur yang menciptakan 3 filsafah hidup masyarakat Batak nan luhur tersebut
HORAS!!!
Sumber Gambar: Panduan Rumah
Salurkan Pemikiranmu!
Ingin artikelmu diterbitkan seperti ini? Kamu bisa! Yuk, salurkan pemikiranmu lewat artikel opini dan listicle di Payung Merah!
Gabung LINE@